Rabu, 26 Desember 2007

Mas Basuki In Memoriam....

Kepergian Mas Basuki... Beberapa waktu yang lalu membuat arti tersendiri bagiku...
inilah yang aku tulis mengenai mas Basuki tersebut ...
JADI KACUNG
“Jadi kacung!!” begitu Basuki pelawak srimulat menimpali, ketika Nurbuat bercerita kalau nanti daerah tempat mereka tinggal akan dibangun Gedung tinggi bertingkat. Lalu nurbuat bertanya kita mau jadi apa.
Tentu saja semuanya tertawa karena jawaban Basuki kelewat sederhana dibanding teman pentas lainnya, timbul, asmuni dan tarsan, yang masing-masing pingin jadi direkturnya, pingin manajernya dan lain-lain yang memiliki jabatan tinggi dan mentereng. lha Basuki kok cuma pingin jadi kacungnya. Tentu saja sebuah keinginan yang menggelikan.
Begitulah suara Basuki, sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu ketika aku mendengar dalam lawakan srimulat di radio, satu-satunya alat hiburan elektronik yang dimiliki waktu itu. Yang aku dengarkan saat malam-malam menjelang tidur. Entah mengapa lawakan basuki itu begitu terekam kuat dalam ingatanku sampai sekarang. Ada pertanyaan yang mengetuk-ngetuk alam pikiran waktu itu. kenapa Basuki cuma pingin jadi kacung ?
Tetapi setidaknya jadi kacung, pesuruh kantoran, masih dianggap lebih baik, paling tidak, tiap hari tidak harus panggul-panggul angkring atau dorong-dorong grobak untuk berjualan keliling menyusuri jalanan jakarta, dan dengan bekerja di kantor maka selalu menggunakan baju yang lebih bersih dan bertemu dengan orang-orang gedean, dan tentu saja bisa sambil membesar-besarkan cerita hidupnya setiap hari.
20 tahunan sudah lawakan Srimulat itu berlalu, Ketika desa Cawas, sebuah desa di luar kota Klaten, sudah lama aku tinggalkan untuk menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Tidak seperti di kampungku, di Jakarta pembangunan berjalan dengan cepat. Kalau aku pulang kampung, aku masih mendapati gardu yang dulu aku jadikan semacam markas untuk perang-perangan dengan senapan pentil. Tetapi di Jakarta, tempat-tempat yang aku lihat di film-filmnya Benyamin, sudah tidak bisa dijumpai lagi dan berganti menjadi gedung-gedung bertingkat tinggi.
Tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tiap tahun, gedung menjulang semakin lama semakin tumbuh & membentuk hutan beton di belantara kota Jakarta. Seketika itu pula ingatanku selalu tertuju pada kata-kata Basuki, akan menjadi kacungkah kita saat gedung itu selesai dan diresmikan ?
Memang benar, kang Diman yang memanggul-manggul semen untuk diaduk untuk memoles dindingnya, Mas Yono yang menumpuk-numpuk batako kemudian menjadi tembok, kang pardi yang mencat temboknya. Namun nama-nama itu tidak pernah ada dalam daftar orang yang berjasa sebagai pembuatnya. Dalam akta tertera Mr John dari Amerika sana, sebagai pembuat yang akan menyerahkan gedung.
Selanjutnya Mr John akan menyerahkan kepada Bapak Tono, dan kemudian di tempati oleh Jono yang menjaga ruangan gedung setipa malam dan si Udin menyapu lantainya tiap hari. Tetapi bukan mereka sesungguhnya pemilik Gedung, tetapi Mr Lee dari Hongkong, dan di wakilkan ke Bapak Tono.
Untuk mampu bekerja di dalamnya kita harus mendapatkan pendidikan yang lumayan mahal. Untuk kemudian diseleksi dan dengan kriteria tertentu kita di pilih untuk berhak menghuni dari gedung jangkung itu di kala siang hari. Kepandaian kita mengetik computer. Sekolah S1 dan kemudian kita berhak untuk bisa diperintah oleh bule-bule itu, bahasa inggris kita harus cas-cis-cus. Sebagian besar memang kita diatur oleh orang asing atau orang asing memang tidak mengatur tetapi hasil dan kerja keras kita digunakan untuk pembangunan di negeri sana.
Mungkin benar kata Nietzsche, membedakan manusia menjadi beberapa golongan, yang mempuyai kepribadian yang berbeda. Manusia unggul, herren moral, moralitas majikan, diatas manusia kalah, herden moral, moral budak. yang kemudian memberikan inspirasi bagi manusia untuk melakukan penindasan atas manusia lain. Apakah kekalahan kita adalah sebuah takdir yang sudah ditetapkan atau sebuah ketidakadilan yang ditindaskan ?
Kenapa 350 tahun 3 rombongan kapal dagang mampu menguasai Indonesia? Jawaban menurut Nietzsche, itu karena kita memang layak untuk dijajah ? Atau kah karena secara arketif, kepribadian suatu kaum, golongan, atau bangsa yang sudah diturunkan jauh sebelum kita lahir dari nenek moyang kita. Karena dari arketif kita kita memang orang kalah ? orang yang lemah ? Kalau ya, memang tidak mudah merubah arketif kita dari arketif bangsa kalah ke bangsa yang menang. Karena di dalamnya perlu pembuktian-pembuktian.
Menjadi kacung itu sebuah keadaan atau sebuah dataran mental ? tidak sedikit orang yang mengawali karir sebagai seorang pesuruh untuk kemudian menjadi yang memiliki perusahaan dikelak kemudian hari. Tetapi banyak orang juga menjadi pesuruh di kantor dan kemudian diwariskan kepada anaknya.
Kekalahan Indonesia dalam berbagai bidang sudah sering teramat sering kita dengar dan malah membuat kita tidak yakin adakah kemampuan bangsa Indonesia sesungguhnya ? Takdir karena sebuah arketif turun menurun yang diwariskan oleh nenek moyang kita kepada generasi penerus seperti kita.
Perusahaan-perusahan kita memang sudah dijuali, dan tidak lagi menjadi milik bangsa kita, atau minimal milik pengusaha warga indonesia. Jangan katakan kita pemalas, kita juga sudah bekerja keras. Tentu saja sesuai dengan yang kebiasaaan yang kita lakukan setiap hari.
Tetapi ya.. hanya kita segelintir orang yang bekerja, selebihnya uang-uang kita mengalir, untuk kemudian menjadi hunian-hunian mewah di nun jauh di seberang sana, Miami atau Orchad Road Singapura atau bahkan sebagian lagi untuk membeli butiran-butiran peluru untuk kemudian di lontarkan kembali kepada orang-orang tanpa salah di palestina, afghanistan atau irak sana. Siapa tahu ? dan itulah hasil kerja keras kita menghabiskan sepenggal sisa hidup kita sehari-hari, yang bahkan untuk untuk diri sendiri, kita tidak sempat lagi menyisakan kesempatan.
Sementara gedung-gedung sekolah dasar kita dibiarkan ambruk di makan rayap dan runtuh mengenai kepala anak-anak kita. Sementara anak-anak kita, kita biarkan tanpa biaya untuk bisa mengenyam pendidikan yang layak dan membaca buku yang bermutu.
Di kereta, kita sudah cukup puas mendapatkan rongsokan jepang yang sudah mendapatkan keuntungan dua kali dari kereta yang dibawa kesini, pertama karena tidak harus mencari tempat sampah dan kedua dapat uang dari penjualan rongsokan jepang itu. Apa boleh buat kereta itu menjadi kereta ekspress nomor satu di jakarta, dan tentu saja di negeri kita.
Dari tanah yang terbentang luas, ternyata tempe dan tahu, yang dianggap makanan rakyat ternyata merupakan barang impor dari amerika bahan dasarnya. Kekalahan kita bukan hanya disatu tetapi dibanyak bidang, terlalu panjang daftar kekalahan yang kita cantumkan disini. Kita bukan hanya kalah dalam struktur phisik tetapi juga cara berfikir dan berbudaya. Kita bukan hanya kalah dalam segi uang tetapi juga pemikiran. Bukan hanya kalah pemikiran, tetepi juga kalah mental. Kekalahan kita bukan hanya kekalahan atas keadaan nyata tetapi sudah berada dalam alam ketidaksadaran di nun jauh lubuk hati kita.
Kadang terpikir setelah kita bekerja dan sedikit kaya apakah kacung segera hilang dari diri kita. Dari diri kita mungkin ya, tetapi sebagai bangsa tentu saja tidak.
Bukankah sudah ditanamkan dalam diri kita (lebih tepatnya dalam diri saya ) untuk menjadi pegawai negeri, bukankah menjadi pegawai negeri juga sebuah mental untuk tetap bekerja atas dasar perintah dari orang institusi yang lebih tinggi, orang dengan jabatan.
Ya realistis, benar kata basuki, harapan pantas dari kita adalah menjadi kacung… itupun sulit. Sudah waktunya memikirkan kata-kata mas Basuki itu.....
Selamat jalan mas basuki.

Senin, 03 Desember 2007

Sewajarnya

Ternyata tidak mudah menduduki dirinya pada tempat yang sewajarnya. sewajarnya di dalam hati dan pikirannku. Godaan untuk memberi pesan atau berbicara teramat besar untuk di cegah. Entahlah mungkin karena baru pertama kali in imengijinkan pintu hati tetrbuka untukorang lain masuk. sehingga terlalu mengaggap ideal apa yang aku anggap dalam pikiranku.
Dalam perjalan pulang dari Mudik lebaran pulang kampung naik motor, terpaksa aku berjalan lambat karena beberapa kali nyaris menabrak mobil atau motor di depanku. Bayangan dirinya teramat susah untuk dihapus.
sehingga aku terpaksa berjalan pelan dan 2 hari perjalan untuk sampai ke depok.
Di tengah perjalanan, tepatnya di kebun raya bogor, di tepi jalan dan aku duduk disitu...