Kamis, 22 Mei 2008

100 Tahun 10 Tahun hari ini dalam Refleksi Diri

Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi.
Rakyat hidup menderita, kemiskinan terlihat dengan jelas di depan mata. Anak-anak dengan pakaian kumal dan tatapan kosong penuh harap adalah hal yang biasa. Tak ayal tatapan sebelah mata sebagai bangsa miskin, bangsa bodoh, manusia kelas dua, tidak pernah tahu harus bertindak apa dan tidak bermartabat, selalu menghiasi bangsa dunia saat melihat bangsa kita.
Berharap pada Pemerintah ( Belanda ) menolong dari garis batas kewajaran, jelas hanya sebuah harapan kosong. Berharap pada para pejabat pangreh praja, sama kosongnya. Pemerintah (Belanda) yang datang sebagai pedagang telah memberikan target pencapaian yang luar biasa untuk memenuhi catatan pundi-pundi kekayaan negara. Para pangreh praja adalah tumpuan terbaik tercapainya target tersebut.
Pangreh Praja kita, janganlah berfikir tentang nasib rakyat, apa yang ada di kepala mereka adalah bagaimana bertahan dengan jabatan, dengan berkhitmat sebaik-baiknya pada Pemerintah (Belanda). Adalah sebuah prestasi yang luar biasa dapat memenuhi target pendapatan yang telah ditetapkan dan Mereka tahu bahwa kekuasaan itu nikmat. Kenyataan adalah Rakyat dibiarkan berjuang sendirian hanya untuk bisa bertahan hidup.
Pemerintah (Belanda) kemudian memang mendirikan sekolah dan melaksanakan pendidikan, tetapi sayang, tujuan memang tidak untuk membuat bangsa ini pandai, tetapi untuk mencukupi tenaga pembantu urusan tulis menulis mencatat berapa besar kekayaan bangsa kita yang telah diangkut ke negeri sana.
Kaum muda pun bergerak, berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri.
Boedi Oetomo adalah tempat dimana kaum muda mengorganisir diri, untuk kemudian mereka mendidik, dan memberi penyadaran akan pentingnya kemerdekaan bagi bangsa dan negara. Untuk kemudian berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tanggal dicetuskan itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional.

Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang mandiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia, melalui sebuah perjuangan hidup mati.
Sejarah selalu berulang dan kita belajar sejarah hanya untuk lulus ujian sekolah. Rupanya bangsa kita tidak pernah benar-benar sebagai bangsa yang mandiri, merdeka dan dewasa. Setelah lebih dari 50 tahun merdeka. Pemerintah (Belanda) berpindah ke Pemerintah Pangreh Praja. Sekali lagi kekuasaan itu nikmat.
Pangreh praja memang pernah belajar, bagaimana membesarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan dewasa. Tetapi kekuasaan memang nikmat tidak terkira. mereka belajar bagaimana bertahan dengan kekuasaan sehingga mereka seperti lupa bahwa tugas bangsa selain bertahan hidup juga harus bermartabat dihadapan bangsa-bangsa, sekaligus juga mewariskan sebuah generasi yang kuat sebagai penerusnya. Mereka justru menjadi tiran baru setelah tiran yang lama kembali ke negerinya sana.

Kamis 21 Mei 1998, pukul sebelas siang,
Kaum mudapun menggeliat, Melalui sebuah demonstrasi yang tiada henti dan mengerahkan segenap usaha dan juga darah anak-anak muda. Sebuah kekuasaan tiran secara resmi tumbang. harapan untuk kehidupan yang lebih baik pun tumbuh dan berkembang. Dan hari itu dinyatakan sebagai tonggak reformasi, harapan perubahan struktur kehidupan yang lebih baik pada rakyat.

Tetapi lagi-lagi sejarah berulang, ternyata kita masih harus menyembah untuk belas kasihan pemodal asing. Sekarang, tatkala kita ingin bangkit, kita seakan kembali terperangkap ke dalam koridor sempit yang mengerdilkan kemartabatan dan kemandirian kita. Anak-anak muda kita memang pandai dan membanggakan. Bahasa Inggris mereka cas-cis-cus sangat lancar mengagumkan, cukuplah untuk sekedar merayu David Beckham, tetapi lagi-lagi kemampuan yang hebat dari anak muda kita, hanya digunakan untuk mencatat berapa kekayaan bangsa kita yang diangkut ke negara entah mana.

Hari ini,
setelah 100 tahun kebangkitan nasional.
setelah 10 tahun kekuasaan tiran tumbang.
Selasa tanggal 20 mei 2008, pukul sembilan pagi,
Tetapi lagi-lagi sejarah berulang-ulang, seorang pemuda menggeliat tapi di tempat tidur saja, untuk sejenak bangun tidur, melihat kalender. Tanggal merah. Libur Nasional. Tidak ada yang harus dikerjakan. dan kemudian tidur lagi.
Sudahlah .. KEbangkitan Nasional hanya Ilusi!!.

Rabu, 07 Mei 2008

Outsourcing


Karl Marx berujar, Bekerja merupakan sebuah cara dimana manusia menyatakan eksistensi dan mengidentifikasikan siapa dirinya. Masyarakat pada umumnya menekankan status pekerjaan dalam pengukuran nilai dan konsep diri individu yang terintegrasi di dalam lingkungan sosial masyarakat. Oleh karena itu dipecat menjadi hantu yang menakutkan bagi kaum pekerja, terutama bagi yang tidak memiliki self competence untuk tetap bertahan hidup mandiri.
Bekerja adalah sebuah konsep diri, posisi dimana kita bekerja menentukan bagaimana konsep diri kita.
coba kita tanyakan kepada pekerja telkom yang outsourcing tentang dirinya. tentu saja berbeda dengan pegawai telkom yg karyawan. tentu saja berbeda.
status menentukan cara pandang mereka.
sebenarnya aku termasuk orang yg mendukung penghapusan outsourcing, atau paling tidak perbaikan kondisi outsourcing.
masalahanya kalau dilihat dari kondisi kerja di telkom, kalau dihitung-hitung bisa separo dari pekerja di telkom ini adalah outsourcing dan mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan pelaksana yang dulu dikerjakan oleh karyawan telkom dengan band 7 atau grade level 21-25.
memang secara angka-angka outsoucing ini menghemat biaya kantor, tetapi dari segi pemerataan pendapatan ke level masyarakat, dengan penghapusan program outsourcing akan membuat banyak orang dengan gaji yang lebih besar di masyarakat.
tentu saja hal ini juga akan memberatkan perusahaan juga.
hal ini bisa diingat dari tuntutan dari karywan Telkom ex TPBW yang meminta masa kerja kontrak mereka diakui sebagai masa kerja sebagai karyawan yang nanti akan dihubungkan sebagai masa kerja dalam penghitungan pensiun.
memang runyam kalau sudah begini.