Senin, 14 April 2008

Tugu Tani Menjelang Siang

Tugu Tani menjelang tengah hari. Terik matahari memanggang Jakarta. Dibawah lampu merah dari Kebon Sirih, lelaki kecil berdiri tidak peduli menantangnya. Matahari membakar rambutnya menjadi pirang kemerahan. Tubuh kotor dan kaos dekil. Mata memerah, garang mengawasi setiap lalu lalang kendaraan yang lewat di hadapannya. Berkaos hitam dan celana putih, yang keduanya sudah berwarna pudar, tercemar debu jalanan. Tapak telanjang dia menapakkan kaki di atas aspal jalan. Mata memerah, tangan kecil lemah dan ada beberapa luka sayatan di telapaknya. Di lehernya berhias daki yang berkerut-kerut teratur seperti beberapa hari leher itu tidak disentuh oleh air. Kerutan-kerutan daki itu tampaknya menjadi satu-satunya hal yang teratur yang dimilikinya. Di seberang jauh, di bawah bayang-bayang Patung Tani, seorang wanita duduk memangku bayi mengawasi apa yang dilakukan lelaki kecil itu tadi.
Lampu merah menyala. Mobil sedan hitam menghentikan lajunya. Si lelaki kecil bergegas berlari mendekat, dari sisi kiri, tangannya mengetuk dan menengadah di pintu kaca mobil itu. Kaca mobil terbuka dan hawa dingin menghembus, dan selembar uang seribuan segera memper tautkan tangan kanan lelaki kecil itu dengan tangan kanan halus yang muncul dari balik kaca. Selembar uang berpindah dan kaca mobil pun tertutup.
Gadis kecil, pemilik tangan halus itu kembali mengunyah pizza, dan tangan kiri memegang sisanya, tangan kanan menyeka sisi mulut yang belepotan saus sambal, tetapi sayang, saus itu justru jatuh ke baju seragam sekolah. Sekolah Taman Kanak-kanak. Saus itupun menjadi noda merah di antara warna putih dan kembang-kembang hijau. Baju itu seperti baru atau mungkin juga karena jarang dipakai. Jelas sekali perbedaan warnanya. Duduk di belakang, seorang ibu muda serius membolak-balik kertas-kertas membaca dokumen-dokumen penting perusahaan.
Lampu hijau menyala, mobil sedan bergerak maju. Gadis kecil menghabiskan pizza dan lelaki kecil ke trotoar menunggu lampu merah kembali menyala.
Nasib apa yang membedakan mereka, sehingga mereka memiliki kontras kehidupan yang berbeda ?. Mereka semua anak-anak. Mereka semua baru mengenal kehidupan dunia ini belum lama. Mereka semua masih belum bisa berbuat banyak kecuali atas uluran tangan orang lain. Mereka semua belum bisa menyombongkan diri atas kerja keras yang mereka lakukan sehingga mereka pantas menikmati hasil yang bisa mereka rasakan sekarang.
Manusia memang memiliki derajat yang sama ketika Tuhan masih mewujudkan dalam bentuk ruh di awal penciptaan. Ruh itu tidak memiliki ruang tidak memiliki dimensi apapun seperti yang kita kenal di dunia ini. Sampai kemudian terjadi persentuhan sempurna antara dua manusia, yang menghasilkan segumpal daging dan atas segumpal daging itu Tuhan meniupkan ruh, diri kita, dan untuk kemudian diri kita bersemayam dalam janin untuk mempersiapkan segenap perwujudan jasmani yang kita rasakan saat ini. Tuhan kemudian mempercayakan penyempurnaan penciptaan kita dalam rahim manusia. Ibu kita masing-masing. Kita tidak mengetahui dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk meminta di rahim siapa kita akan bersemayam. Kita seperti Nabi Adam yang bersama Hawa di lemparkan dari surga menuju kehidupan dunia entah di mana.
Di dalam rahim itu kita mulai berkembang sesuai dengan perkembangan gumpalan daging dan membentuk susunan tubuh seperti yang kita kenal. Kemudian kita berkembang dalam wujud janin, kemudian dalam sebuah pertumbuhan sempurna kita keluar dari rahim, sebagai bayi, untuk hadir ke dunia ini. Kita mengenal kehidupan dunia ini sebagai manusia seperti yang kita alami selama ini.
Dari rahim siapa kita bersemayam akan itulah yang akan menentukan banyak nasib baik yang ada di dunia ini atau juga nasib buruk.
Pemilik rahim yang mengklaim diri kita sebagai miliknya dan sebagaimana pemilik, mereka akan memperlakukan kita sebagaimana yang mereka inginkan. Mereka akan memperkenalkan kehidupan dunia ini kepada diri kita, dengan cara yang mereka miliki.
Jika pemilik rahim tempat kita bersemayam, seorang wanita yang berdiri di bawah bayang-bayang Tugu Tani tadi, maka kita akan menggelandang di sekitar Tugu Tani juga atau tidak jauh-jauh dari tempat itu. Kita akan mengenal kehidupan dunia sebagai sesuatu yang berat yang harus kita jalani.
Masih beruntung kita dapat mengenal diri kita, karena bisa jadi ketika pemilik rahim tempat kita bersemayam, tidak lagi berkuasa untuk memberi makan yang cukup kepada kita, kemudian untuk mengurangi beban hidup kita dibiarkan mati, dan kemudian membuangnya di pintu air Manggarai, tenggelam sampai Cideng dan akhirnya mengendap di dasar pantai teluk Jakarta, tanpa pernah mengenal apa itu dunia ini. Atau Bahkan kita dikutuk habis-habisan yang tidak diharapkan kehadirannya.
Dan sangat bisa jadi kita tidak pernah mengenal siapa yang di sebut bapak karena memang tidak diketahui dengan pasti dari benih siapa segumpal daging tempat tinggal kita tumbuh. Sepanjang kehidupan kita selalu dihantui oleh sebuah pertanyaan apakah besok kita masih bisa bertahan untuk tetap hidup di dunia ini. Dan itulah pertanyaan utama sepanjang sejarah hidup kita di dunia ini dan harus dicarikan jawabannya.
Atau kalau kita mampu bertahan untuk hidup, kita akan tumbuh besar di jalanan, dengan tiap hari mengisi paru-paru kita dengan asap pekat knalpot dari mobil yang menderu-deru, setelah meninggalkan sekeping uang logam lima ratusan, dengan harapan mobil terselamatkan atas goresan apapun dari tangan kita. Asap knalpot dan makian-makian menjadi menu wajib harian yang kita dapat dan ketika menjadi nilai diri ketika menilai diri seperti apa.
Tidak ada hal yang bisa diwariskan kepada kita, selain mewarisi kemiskinan dan penderitaan turun temurun. Pendek kata kita akan mengenal kehidupan dunia ini sebagai sebuah perjuangan untuk tetap hidup, dengan hiasan kekerasan dan juga siksaan. Pendek kata, kita sudah mengenal neraka sebelum nanti merasakan neraka yang sesungguhnya setelah meninggalkan dunia.
Tetapi kalau ruh kita ditiupkan pada segumpal daging dalam rahim perut seorang ibu yang memiliki rumah sekitar satu kilo meter dari Tugu Tani, tepatnya di Menteng. Hidup bagai sebuah tamasya yang harus senantiasa dinikmati sehari-hari. Tidak terpikirkan lagi dengan apa kita harus hidup. Segala sesuatu seperti sebuah aliran kehidupan yang membahagiakan.
Pada saat pertumbuhan di dalam rahim kita sudah diberi asupan-asupan makanan yang bergizi tinggi sehingga kita kuat dan memiliki kecerdasaan yang ada pada otak kita. Sambil dielus-elus, kita diperdengarkan alunan musik klasik buah karya mozart, agar kita memiliki tingkat kecerdasan di atas ratarata dan nanti tidak menyusahkan orangtua.
Ketika kita lahir semua orang merayakan. Ketika ulang tahun pemilik kita mengundang teman-teman dekat untuk ikut merayakan kesenangan kehadiran kita di dunia. Ketika kita akan berangkat sekolah ada seseorang yang mengantarkan ke tempat sekolah paling favorite yang jauh dari cita rasa kekerasan. Ketika dewasa kita hidup bahagia, mengkhotbahkan kepada khalayak apa itu hidup bahagia dan bagaimana meraihnya.
Kita sudah terlanjur hadir di dunia ini melalui sebuah rahim dan hal itu tidak pernah kembali lagi ke bentuk semula dan memilih rahim yang berbeda. Termasuk kita sudah tidak bisa lagi berandai-andai. Yang kita hadapi adalah sebuah kenyataan hidup di dunia ini, yang sekaligus mejadi tirai penutup akan kehidupan kita sesungguhnya. Realitas dunia selalu melupakan kita akan ruh kita, kita bahkan tidak menyadari perjalanan ruhani kita. Yang kita hadapi adalah benda-demi benda yang memberikan manis - getir kehidupan kita.
Kita akan tetap hadir dengan apa yang kita sandang di dunia ini, Sampai kemudian ketika tubuh manusia itu mulai renta, kembalilah jiwa itu ke ketempat semula ketika tubuh kita itu sudah tidak ada kesanggupan lagi untuk menahan diri kita bersemayamn di dalamnya. Kita meninggalkan tubuh kita dan kembali kepada Tuhan. Saat itu tirai gelap diri kita tersinggkap.
Tantangan terberat setelah kehadiran kita di dunia ini adalah mengenal diri kita, kemudian bertahan untuk tetap hidup dan kemudian kembali kepada sang pencipta dengan jiwa yang tenang.
Hal yang terpenting dalam mengenal diri, adalah bukan mendasarkan kepada tatapan kita kepada seorang wanita malang di Manggarai, bukan pula mendasarkan kepada kehidupan direktur yang kita pandang sebagai memiliki harta yang banyak dan dengan begitu merasa bergembira, mengemal diri sendiri bukan menunduk ke bawah atau menengadah ke atas.
Tidak ada gunanya kita menyombongkan diri dengan kedudukan kita yang “kebetulan” keluar dari rahim seorang wanita kaya, pun kita tidak ada gunanya memaki-maki dan rendah diri ketika kita lahir dari rahim orang miskin. Baik kesenangan maupun kesengsaraan di dunia ini kadang bukan lah hal yang mampu untuk mengenal kepada siapa sesungguhnya diri kita ini.
Yang lebih penting adalah memahami sisi kemanusiaan kita sendiri dan kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang tenang.

==&==